BAB III. HUKUM
PERIKATAN
1.1
Pengertian Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver
bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di
Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu
terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat
berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya
lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya;
letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak
rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam
kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat
sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang
terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.
Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak,
inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian
1.2
Dasar Hukum Perikatan
Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata ”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
A. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
B. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata ”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)
A. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
B. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
1.3
Asas-asas dalam hukum
Perikatan
Asas-asas dalam hukum
perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan
berkontrak dan azas konsensualisme.
1.Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan
berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa
segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.Asas konsensualisme Asas konsensualisme,
artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara
para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP
Perdata.
3.Asas Kepribadian : 1315 dan 1340 KUHPerdata.
Pengecualian : 1792 KUHPerdata
1317 KUHPerdata
Perluasannya yaitu Ps. 1318 KUHPerdata.
Asas Pacta Suntservanda® asas kepastian hukum:
1338: 1 KUHPerdata.
● Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai
dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu
perikatan adalah sebagai berikut :
1.Pembaharuan utang
(inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan
hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya
yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
2.Perjumpaan utang
(kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya
perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing
merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua
orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua
orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua
mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal
1425 KUH Perdata).
3.Pembebasan Utang
pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana
dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur.
Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara
lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan
kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag
dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
4.Musnahnya barang yang
terutang
5.Kebatalan dan
pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal
pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
6.Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau
waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari
suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat
yang ditentukan oleh undang-undang. Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat
diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :
1.lampau waktu untuk
memperolah hak milik atas suatu barang
2.lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu
perikatan atau dibebaskan dari tuntutan
Adapun syarat-syarat dari sah-nya suatu
perjanjian, yakni:
•Kata Sepakat antara
Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang
mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut.
•Cakap untuk Membuat
Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak
harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di
bawah pengampuan.
•Mengenai Suatu Hal
Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus
jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek,
diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu
perselisihan antara para pihak.
•Suatu sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan
(causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum
1.4
Hapusnya Perikatan
Pasal
1381 KUHPer menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan, yaitu:
1. Pembayaran;
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan;
3. Pembaharuan utang;
4. Perjumpaan utang atau kompensasi;
5. Pencampuran utang;
6. Pembebasan utang;
7. Musnahnya barang yang terutang;
8. Batal/pembatalan;
9. Berlakunya suatu syarat batal dan
10. Lewatnya waktu (Daluawarsa).
Selain cara-cara di
atas, ada cara-cara lain yang tidak disebutkan, misalnya : berakhirnya suatu
ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya salah satu pihak dalam
beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang pesero dalam suatu
perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjian-perjanjian di mana prestasi
hanya dapat dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang
lain.
1. Pembayaran.
Dengan “pembayaran”
dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Yang wajib membayar
suatu utang, bukan saja si berutang, tetapi juga seorang kawan berutang dan
seorang penanggung utang. Dalam pasal 1332 KUHPer diterangkan bahwa suatu
perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai
kepentingan, asal saja orang pihak ketiga yang bertindak atas nama dan untuk
melunasi utangnya si berutang, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri,
asal ia tidak menggantikan hak-hak si berpiutang. Agar pembayaran itu sah,
perlu orang yang membayar itu pemilik dari barang yang dibayarkan dan berkuasa
memindahtangankannya.
Pembayaran harus
dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada seorang yang dikuasakan
olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan oleh hakim atau oleh UU untuk
menerima pembayaran-permbayaran bagi si berpiutang.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh
penyimpanan atau penitipan
Merupakan cara
pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak
pembayaran. Cara itu adalah sebagai berikut :
1.
Barang atau uang yang
akan dibayarkan itu ditawarkan secara resmi oleh seorang notaris atau seorang
juru sita pengadilan kepada kreditur atas nama debitur, pembayaran mana akan
dilakukan dengan menyerahkan (membayarkan) barang atau uang yang telah
diperinci. Notaris atau juru sita tadi sudah menyediakan suatu proses
perbal.
2.
Apabila kreditur suka
menerima barang atau uang yang ditawarkan itu, maka selesailah perkara
pembayaran itu.
3.
Apabila kreditur
menolak, maka notaris/juru sita akan mempersilahkan kreditur itu menandatangani
proses perbal tersebut dan jika kreditur tidak suka menaruh tanda tangannya,
hal itu akan dicatat oleh notaris/jurusita di atas surat proses perbal
tersebut. Dengan demikian ada bukti yang resmi bahwa si berpiutang telah
menolak pembayaran.
4.
Langkah
berikutnya: Debitur di muka Pengadilan Negeri dengan permohonan kepada
pengadilan itu supaya pengadilan mengesahkan penawaran pembayaran yang telah
dilakukan itu.
5.
Setelah itu, maka
barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada
Panitera Pengadilan Negeri dan dengan demikian utang piutang itu sudah hapus.
Barang atau uang tersebut di atas berada dalam simpanan Kepaniteraan Pengadilan
Negeri atas tanggungan (resiko) si berpiutang.
Si berpiutang sudah
bebas dari utangnya. Segala biaya yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan
penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan, harus dipikul oleh si
berutang.
3. Pembaharuan utang atau Novasi
Menurut pasal 1413
KUHPer, ada 3 macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan utang atau
novasi, yaitu:
1.
Apabila seorang yang
berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang menghutangkannya,
yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya. Disebut dengan
novasi objektif karena yang diperbaharui adalah objeknya perjanjian.
2.
Apabila seorang
berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si
berpiutang dibebaskan dari perikatannya. Disebut novasi subjektif passif karena
yang diganti adalah debiturnya;
3.
Apabila sebagai akibat
suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan
kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya. Disebut
sebagai novasi subjektif aktif karena yang diganti adalah krediturnya.
4. Perjumpaan utang atau kompensasi
Merupakan cara
penghapusan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang
piutang secara timbal balik antara kreditur dan debitur. Jika dua orang saling
berutang satu pada yang lain, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan,
dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan.
5. Perjumpaan tersebut terjadi demi hukum
Agar dua utang dapat
diperjumpakan, perlulah dua utang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau
jumlahnya dan seketika dapat ditagih. Kedua utang itu harus sama-sama mengenai
uang atau barang yang dapat dihabiskan, dari jenis dan kwalitet yang sama, misalnya
beras kwalitet Cianjur.
Perjumpaan terjadi
dengan tidak dibedakan dari sumber apa utang piutang antara kedua belah pihak
itu telah lahir, terkecuali:
1.
Apabila dituntutnya
pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan hukum dirampas dari pemiliknya;
2.
Apabila dituntutnya
pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan;
3.
Terdapat sesuatu utang
yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita
(alimentasi).
Jadi ketentuan di atas merupakan larangan kompensasi
dalam hal-hal yang demikian.
6. Pencampuran utang
Apabila kedudukan
sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada
satu orang, maka terjadi demi hukum suatu pencampuran utang dengan mana
utang-piutang itu dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen
ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau si debitur kawin dengan
krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya utang piutang dalam hal
pencampuran ini, adalah betul-betul “demi hukum” dalam arti otomatis.
Pencampuran utang yang
terjadi pada dirinya si berutang utama berlaku juga untuk keuntungan para
penanggung utangnya (“borg). Sebaliknya pencampuran yang terjadi pada seorang
penanggung utang tidak sekali-kali mengakibatkan hapusnya utang pokok.
7. Pembebasan utang
Apabila si berpiutang
dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berutang dan
melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan –
yaitu hubungan utang piutan – hapus. Perikatan di sini hapus karena pembebasan.
Pembebasan suatu utang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan,
misalnya pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh si
berpiutang kepada si berutang.
Pembebasan utang perlu
diterima baik dahulu oleh debitur, barulah dapat dikatakan bahwa perikatan
utang-piutang telah hapus karena pembebasan, sebab ada juga kemungkinan seorang
debitur tidak suka dibebaskan dari utangnya.
Perbedaan antara
pembebasan utang dengan pemberian (“schenking”) adalah bahwa pembebasan
utang tidak menerbitkan suatu perikatan, justru menghapuskan
perikatan, dan dengan
suatu pembebasan tidak dapat dipindahkan suatu hak milik, sebaliknya suatu
pemberian meletakkan suatu perikatan antara pihak penghibah dan pihak yang
menerima hibah dan perikatan itu bertujuan memindahkan hak milik atas sesuatu
barang dari pihak yang satu kepada pihak yang lainnya.
Musnahnya barang yang
terutang Jika barang tertentu yang menjadi objek perjanjian musnah, tak lagi
dapat diperdagangkan, atau hilang,hingga sama sekali tidak diketahui apakah
barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang tadi musnah atau
hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
8. Batal/pembatalan
Perjanjian-perjanjian
yang kekurangan syarat objektifnya (sepakat atau kecakapan) dapat dimintakan
pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang tidak cakap itu atau oleh
pihak yang memberikan perizinannya secara tidak bebas karena menderita paksaan
atau karena khilaf atau ditipu. Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan
syarat subjektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama, Secara aktif
menuntut pembatalan perjanjian yang demikian de depan hakim.
Kedua, secara
pembelaan, yaitu menunggu sampai digugat didepan hakim untuk memenuhi
perjanjian dan disirulah baru mengajukan kekurangannya perjanjian itu
Untuk penuntutan
secara aktif diberi batas waktu 5 tahun, sedangkan untuk pembatalan sebagai
pembelaan tidak diadakan pembatasan waktu itu. Penuntutan pembatalan akan tidak
diterima oleh Hakim, jika ternyata sudah ada “penerimaan baik” dari pihak yang
dirugikan, karena seorang yang sudah menerima baik suatu kekurangan atau suatu
perbuatan yang merugikan baginya, dapat dianggap telah melepaskan haknya untuk
meminta pembatalan.
Ada pula kekuasaan
yang oleh “Ordonansi Woeker” diberikan kepada Hakim untuk membatalkan
perjanjian, kalau ternyata antara kedua belah pihak telah diletakkan kewajiban
secara timbal balik, yang satu sama lain jauh tidak seimbang dan ternyata pula,
satu pihak telah berbuat secara bodoh, kurang pengalaman atau dalam keadaan
terpaksa.
9. Berlakunya syarat batal
Perikatan bersyarat
adalah suatu perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang
masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan
lahirnya perikatan sehingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan
perikatan menurut terjadi atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang
pertama, perikatan dilahirkan hanya apabila peristiwa yang dimaksud itu
terjadi. Dalam hal yang kedua, suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru
akan berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi.
Perikatan semacam yang terakhir ini dinamakan suatu perikatan dengan suatu
syarat batal.
Dalam Hukum Perjanjian
pada asasnya suatu syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya
perjanjian. Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi,
menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula
seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian. Dengan begitu, syarat batal itu
mewajibkan si berutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila
peristiwa yang dimaksudkan itu terjadi. Namun berlaku surutnya pembatalan itu
hanyalah suatu pedoman yang harus dilaksanakan jika itu mungkin
dilaksanakan.
10. Lewat waktu (Daluwarsa)
Menurut pasal 1946
KUHPer, yang dinamakan daluwarsa atau lewat waktu ialah suatu upaya untuk
memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Daluwarsa untuk
memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa “acquisitif”,
sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu perikatan (atau suatu tuntutan)
dinamakan daluwarsa “extinctif”.
Menurut pasal 1967,
segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat
perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun,
sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah
mempertunjukkan suatu atas hak, lagipula tak dapatlah diajukan terhadapnya sesuatu
tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.
Dengan lewatnya waktu
tersebut di atas, hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggallah suatu
“perikatan bebas” artinya kalau dibayar boleh tetapi tidak dapat dituntut di
depan hakim. Debitur jika ditagih utangnya atau dituntut di depan pengadilan
dapat mengajukan tangkisan (eksepsi) tentang kedaluwarsanya piutang dan dengan
demikian mengelak atau menangkis setiap tuntutan.
1.5
MoU (Memorandum of
Undersanding)
Nota Kesepahaman atau juga biasa disebut
dengan Memorandum of Understanding ("MoU") ataupra-kontrak,
pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum konvensional di Indonesia. Akan tetapi
dalam praktiknya, khususnya bidang komersial, MoU sering digunakan oleh pihak
yang berkaitan.
MoU
merupakan suatu perbuatan hukum dari salah satu pihak (subjek hukum) untuk
menyatakan maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu yang ditawarkannya
ataupun yang dimilikinya. Dengan kata lain, MoU pada dasarnya merupakan
perjanjian pendahuluan, yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada para
pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulusebelum membuat perjanjian yang
lebih terperinci dan mengikat para pihak pada
nantinya.
Mengutip dari Jawaban Biro
Riset Legislative (Legislative Research Bureau's) bahwa MoUdidefinisikan dalam Black’s Law Dictionary sebagai
bentuk Letter of Intent. Adapun Letter of Intent didefinisikan:
“A written statement
detailing the preliminary understanding of parties who plan to enter into a
contract or some other agreement; a noncommittal writing preliminary to
acontract. A letter of intent is not meant to be binding and does not hinder
the parties from bargaining with a third party. Business people typically mean
not to be bound by a letter of intent, and courts ordinarily do not enforce
one, but courts occasionally find that a commitment has been made...”
Dengan terjemahan bebasnya:
“Suatu pernyataan
tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana untuk masuk ke
dalam kontrak atau perjanjian lainnya, suatu tulisan tanpa komitmen/tidak
menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk kesepakatan. Suatu Letter of Intent
tidak dimaksudkan untuk mengikat dan tidak menghalangi pihak dari tawar-menawar
dengan pihak ketiga. Pebisnis biasanya berarti tidak terikat dengan Letter of
Intent, dan pengadilan biasanya tidak menerapkan salah satu, tapi pengadilan
kadang-kadang menemukan bahwa komitmen telah dibuat/disepakati...”
Berdasarkan uraian di
atas, maka
dapat dipahami bahwa MoU melingkupi hal-hal sebagai berikut:
1) MoU merupakan
pendahuluan perikatan (landasan kepastian);
2) Content/isi materi dari MoU hanya memuat
hal-hal yang
pokok-pokok saja;
3) Dalam MoU memilki tenggang
waktu, dengan kata lain bersifat
sementara;
4) MoU pada kebiasaannya tidak
dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang memaksa untuk dibuatnya
kontrak atau perjanjian terperinci;
dan
5) Karena masih terdapatnya keraguan dari salah
satu pihak kepada pihak lainnya, MoU dibuat
untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan.